ALIF in LIFE #1 - Prolog

Diposting oleh RahmaCantiiikz on Minggu, 28 Juli 2013

�Aku tidak pintar, dan tidak mempunyai bakat yang bisa membanggakan orang tuaku. Dan yang terburuk, aku terlalu penakut untuk melakukan hal2 yang belum pernah aku lakukan.�

Pesimis. Hal-hal seperti itu yang selalu terlintas dipikiranku jika aku sedang melamun. Walaupun aku masih berusia 17 tahun. Tapi aku sering berpikir jauh kedepan. Tentang apa yang bakal terjadi. Ya, hanya berpikir  tanpa melakukan apapun yang berguna dihidupku.

Namaku Sandjaya Lifandra. Nama yang bagus diberikan oleh orang tuaku. Walaupun tidak sebagus parasku. Berperawakan tinggi, kulit sawo matang, wajah yang biasa2 saja, dan aku memiliki rambut yang keriting. Tapi tidak terlalu kelihatan karena biasanya aku mencukur tipis rambutku. Orang2 terdekatku biasa memanggilku dengan nama Alif. Tidak masalah bagiku. Aku lebih nyaman dipanggil Alif mengingat bagaimana aku dan keadaanku.

Aku tinggal disebuah rumah sederhana di tengah padatnya kota Denpasar. Aku memiliki orang tua yang utuh dan sehat, seorang kakek yang baik walaupun beliau sakit2an karena sudah lanjut usia, serta memiliki seorang adik perempuan kecil yang bernama Sayu. Adikku selalu marah jika aku memanggilnya yuyu. Haha, sebuah ejekan yang aku buat untuknya.

Tidak jauh dari rumahku terdapat sebuah SMA swasta yang bernama SMA Sarasvati. Disanalah aku bersekolah. Sengaja mencari yang dekat karena aku sering pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Keluargaku hanya memiliki 1 motor. Satu2nya barang termahal kami yang biasa digunakan oleh ayahku untuk bepergian menjual lukisan keliling. Tapi jika ayahku sedang menghabiskan waktunya untuk melukis, motornya bisa dipakai ibuku ataupun aku yang lebih memerlukan. Jadi kadang juga aku bersekolah memakai motor.

Walaupun ayahku hanya lulusan SD, tapi beliau sangat jago melukis. Karena pendidikan dan skill beliau yang dulu tidak pernah dikembangkan, jadi beliau hanya mentok sering melukis pemandangan Bali jaman2 dulu. Bagiku lukisan2 begini sudah sangat banyak pelukis yang membuatnya. Sudah benar2 umum. Tidak heran jika sedikit lukisan beliau yang laku dengan harga lumayan. Tapi aku bersyukur ayah masih bisa bekerja dengan layak

Aku suka melihat ayahku melukis. Tangannya dengan lemah gemulai menarikan kuas diatas kanvas. Kadang yang membuatku lucu ketika ayahku serius memperhatikan lukisannya. Kepalanya miring kekanan, lalu miring ke kiri. Alisnya mengkerut terlihat bingung melanjutkan lukisannya.

Hanya pekerjaan tersebut yang mampu ayah lakukan untuk menanggung hidup keluarga kecil ini. Cukup untuk makan sehari2. Jika ada sisa pasti ditabung untuk sekolahku dan adikku. Juga untuk jaga2 jika kakek kenapa2.



Untuk membantu ayah, ibuku juga berjualan kecil2an didepan rumah. Berjualan ketupat tahu dan juga es campur.


Ayahku pernah bilang seperti ini, �Lif, ini bapak sama ibumu capek2 kerja cuma buat kamu sama Sayu. Makanya ya rajinin belajar, biar bisa sampai kuliah, sampai kerja yang bagus. Gampang ngasilin uang. Biar nggak kayak bapak lagi nanti.� Iya mereka sangat berharap aku bisa sekolah yang tinggi agar mempunyai banyak ilmu dan bisa merubah ekonomi keluarga. Mendengar nasehat mereka aku hanya bisa bilang iya iya saja. Padahal dalam hati aku merasa tidak mampu. Otakku tidak terlalu kuat mengingat pelajaran2 disekolah, ditambah aku masih suka malas2an.

Pernah juga berfikir, aku terlalu tertekan dengan tekhnologi yang semakin lama semakin modern. Apa2 sudah menggunakan tekhnologi canggih. Sering aku kebingungan jika membuat tugas sekolah. Disaat ada tugas mengetik dan print misalnya, aku sampai harus menggunakan komputer sekolah disaat anak2 lain sudah pulang. Jika tidak aku mengetiknya diwarnet. Aku hanya bermodalkan sebuah flashdisk yang aku beli dari uang yang aku kumpulkan dikit demi sedikit. Bahkan jika ngeprint sampai puluhan lembar aku bisa tidak membuatnya. Karena pasti biayanya mahal.

Contoh lainnya, aku juga sering tidak membuat tugas sekolah jika tidak tau kabar dari teman2ku. Di sekolah mungkin hanya aku yang tidak membawa Blackberry. Dikeluargaku yang memegang HP cuman ayah. Itupun HP jadul. Sedangkan teman2ku berkomunikasi keseluruhan melalui BBM. Rumah teman2ku juga rata2 jauh. Ini yang kadang membuat aku malas lagi melanjutkan sekolah.

Pingin minta HP, pingin minta komputer sama ayah. Tapi aku terlalu takut untuk ngomongin ini. Aku takut ayahku pusing mikirin, jadi ya aku pendam dalam hati saja. Itu hanya sebuah angan yang tidak tau kapan akan tercapai.

Tapi Tuhan memang tidak akan berdiam diri melihat yang kesusahan. Tuhan mendengar keinginanku. Disuatu siang setelah aku pulang sekolah biasanya aku diam di warung ibuku. Sesekali membantu ibuku, tapi aku lebih sering melihat2 yang lain. Melihat kendaraan yang lalu lalang atau apapun yang menarik perhatianku.

�Kaklif, dipanggil ayah cepet!!� Adikku Sayu memanggilku dari teras rumah

Akupun bergegas masuk kerumah. Aku melihat ayah sedang ngopi sambil melihat lukisan2nya.

�Kenapa yah? Perlu bantuan?� Aku bertanya kepada ayah. Seperti biasa aku berpikir pasti ayah ingin meminta bantuanku untuk membawa lukisannya ditaruh diluar

�Kamu sudah makan lif?� Tanya ayah

�Sudah tadi yah di warung..� Jawabku. Lalu ayah menyuruhku duduk sebentar. Ada yang mau diomongin kata beliau.

�Ayah ada tabungan lebih.. 3.000.000 lif. Ayah pingin kamu punya motor biar bisa kemana2. Ayah liat semua teman sebayamu punya motor. Ya walaupun pastinya kurang. Kita cari motor bekas aja yang bisa dicicil lif� Ayah ngomong panjang lebar yang membuat perasaanku campur aduk.

Aku benar2 senang mendengar ayah mau membelikanku motor. Semoga itu benar2 tabungan ayah, bukan uang pinjaman.

Malamnya aku jadi memikirkan suatu hal yang menjanggal pikiranku. Uang segitu untuk membeli motor yang pasti akan dicicil pasti berat banget. Belum lagi untuk biaya samsat,  membeli bensin2nya, dll. Emang sih aku menginginkan motor. Bisa jalan2, bisa kerumah teman2ku yang jauh. Tapi sepertinya aku belum terlalu membutuhkannya. Nanti saja setelah aku bekerja.

Aku tidak muluk2. Mumpung ayah lagi punya uang, ini kesempatanku untuk minta apa yang sebelumnya aku inginkan. Dibenakku saat ini cuma 2 benda yang aku inginkan. HP dan komputer. Aku benar2 memikirkan baik atau buruknya 2 benda itu. Akhirnya aku sudah mendapatkan keputusannya. Besok aku ingin ngomongin ini sama ayah.

Pulang sekolah merupakan waktu yang tepat menurutku. Saat dimana ayah lagi nyantai. Sampai rumah tanpa mengganti terlebih dahulu pakaianku lalu aku bicara pada ayah.

�Yah, soal yang kemaren tentang motor. Kayaknya aku belum terlalu membutuhkan motor yah. Ada yang lain yang aku inginkan. Gimana yah, bolehkah?� Tanya ku tanpa melihat mata ayah. Aku gemeteran. Aku takut ayah marah. Dan aku juga menjelaskan resiko2 jika aku jadi beli motor.

Aku melihat ayah menghela nafas. Aku tidak tau apa yang sedang ada dipikirannya. Ayah diam dan aku juga diam.

�Trus kamu pinginnya apa lif? Terserah kamu sajalah tapi uangnya jangan lebih� Mendengar respon ayah aku menjadi makin percaya diri untuk ngomong. Sepertinya ayah mengerti.

�Tidak yah, uangnya cukup. Mungkin dengan benda yang aku pingin ini bisa buat aku jadi makin semangat sekolah. Aku pingin laptop saja yah. Bukan karena teman2ku semuanya punya laptop. Tapi aku lebih berpikir dengan punya laptop aku bisa banyak belajar hal2 baru dan lebih mudah dalam mengerjakan tugas yah�

�Yasudah ayah ikut kamu saja, kamu carikan dulu tempat dimana bisa beli laptop yang murah. Lalu bilang pada ayah kita kesana sama2� kata ayah

Aku benar2 senang. Ayah begitu baik, padahal aku ini belum bisa membanggakan beliau. Pada saat itu aku langsung berjanji pada ayah untuk menjadi anak yang berbakti dan akan selalu nurut kata orang tua. Dan aku juga berjanji pada diriku sendiri, setelah hari ini aku akan lebih membuat diriku berguna. Aku akan membanggakan orang tuaku. Dan membalas jasa2 mereka.

Singkat cerita, didepan meja belajarku kini sudah ada laptop yang aku beli dari seorang pemilik counter HP. Laptop yang ia beli 2 tahun lalu tapi masih bagus. Aku benar2 suka. Warnanya putih mengkilap, walaupun ada lecet di beberapa bagian.

Dan disuatu hari aku mendapatkan fakta. Dibalik kebaikan ayah yang berencana membelikanku motor. Ternyata ada sesosok yang lebih dulu merencanakan itu ke ayah. Dialah ibuku. Ibuku berfikir aku sedang menginginkan motor karena sering melihatku memperhatikan kendaraan lewat di warung. Itulah ibu. Bisa mengerti yang sedang dirasakan anaknya walaupun anaknya tidak terang2an bicara.




{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar